Sudah berapa hadits yang anda hafal?
Berapa bab fiqih yang sudah anda
kuasai?
Berapa kitab para ulama yang sudah
khatam anda pelajari?
Sudah sejauh apa kita memahami agama
kita ini..?
Semoga Allah menolong kita agar kita
tidak termasuk orang-orang yang berpangku tangan, bermalas-malasan dan lalai
dari mempelajari ilmu agama. Semoga juga kita bukan orang-orang yang belajar
agama ala kadarnya dan seadanya, padahal ilmu agama ini begitu penting lebih
penting dari makan dan minum. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, “Manusia lebih
membutuhkan ilmu agama daripada roti dan air minum. Karena manusia butuh kepada
ilmu agama setiap waktu, sedangkan mereka membutuhkan roti dan air hanya sekali
atau dua kali dalam sehari” (Thabaqat Al Hanabilah, 1/390)
Semangat Mendatangi Majelis Ilmu
Syaikh Abdullah bin
Hamud Az Zubaidi belajar kepada Syaikh Abu Ali Al Qaali. Abu Ali memiliki
kandang ternak di samping rumahnya. Beliau mengikat tunggangannya di sana.
Suatu ketika, murid beliau, Abdullah bin Hamud Az Zubaidi, tidur di kandang
ternaknya agar bisa mendahului murid-murid yang lain menjumpai sang guru
sebelum mereka datang. Agar bisa mengajukan pertanyaan sebanyak mungkin sebelum
orang berdatangan. Allah mentakdirkan Abu Ali keluar dari rumahnya sebelum
terbit fajar. Az Zubaidi mengetahui hal tersebut dan langsung berdiri
mengikutinya di kegelapan malam. Merasa dirinya dibuntuti oleh seseorang dan
khawatir kalau itu seorang pencuri yang ingin mencelakai dirinya, Abu Ali berteriak,
“celaka, siapa anda?”. Az Zubaidi berkata, “aku muridmu, Az Zubaidi”. Abu Ali
berkata, “sejak kapan anda membuntuti saya? Demi Allah tidak ada di muka bumi
ini orang yang lebih tahu tentang ilmu Nahwu selain anda, maka pergilah
tinggalkan saya” (Inaabatur Ruwat ‘ala
Anbain Nuhaat, Al Qifthi, 2/119).
Ibnu Jandal Al Qurthubi berkata,
saya pernah belajar pada Ibnu Mujahid. Suatu hari saya mendatanginya sebelum
fajar agar saya bisa duduk lebih dekat dengannya. Ketika saya sampai di gerbang
pintu yang menghubungkan ke majelisnya, saya dapati pintu itu tertutup dan saya
kesulitan membukanya. Saya berkata dalam hati, “Subhaanallah, saya sudah datang
sepagi ini tapi tetap saja tidak bisa duduk di dekatnya?”. Kemudian saya
melihat sebuah terowongan di samping rumahnya. Saya membuka dan masuk ke
dalamnya. (Itu adalah sebuah terowongan di dalam tanah, saya masuk agar bisa
sampai ke ujung terowongan hingga keluar darinya menuju ke majelis ilmu).
Ketika sampai di pertengahan terowongan yang semakin menyempit, saya tidak bisa
keluar ataupun kembali. Maka saya mencoba melebarkan terowongan
selebar-lebarnya agar bisa keluar. Pakaian saya terkoyak, dinding terowongan
membekas di tubuh saya, dan sebagian daging badan saya terkelupas. Allah
menolong saya untuk bisa keluar darinya, mendapatkan majelis Syaikh dan
menghadirinya. Sementara saya dalam keadaan yang sangat memalukan seperti itu (Inaabatur
Ruwat ‘ala Anbain Nuhaat, Al Qifthi, 2/363 dengan saduran).
Semangat Belajar Dalam
Keterbatasan
Imam Asy Syafi’i berkata, “saya
seorang yatim yang tinggal bersama ibu saya. Ia menyerahkan saya ke kuttab
(sekolah yang ada di masjid). Dia tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan
kepada sang pengajar sebagai upahnya mengajari saya. Saya mendengar hadits atau
pelajaran dari sang pengajar, kemudian saya menghafalnya. Ibu saya tidak
memiliki sesuatu untuk membeli kertas. Maka setiap saya menemukan sebuah tulang
putih, saya mengambilnya dan menulis di atasnya. Apabila sudah penuh
tulisannya, saya menaruhnya di dalam botol yang sudah tua” (Jami’u Bayanil
Ilmi wa Fadhilihi, Ibnu ‘Abdil Barr, 1/98).
Salim Ar Razy menceritakan bahwa
Syaikh Hamid Al Isfirayaini pada awalnya adalah seorang penjaga (satpam) di
sebuah rumah. Beliau belajar ilmu dengan cahaya lampu di tempat jaganya karena
terlalu fakir dan tidak mampu membeli minyak tanah untuk lampunya. Beliau makan
dari gajinya sebagai penjaga (Thabaqatus Syafi’iyah Al Kubra, Tajuddin
As Subki, 4/61).
Semangat Mencari Ilmu
Walaupun Harus Melakukan Perjalanan Jauh
Abu Ad Darda radhiallahu’ahu
mengatakan. “seandainya saya mendapatkan satu ayat dari Al Qur’an yang tidak
saya pahami dan tidak ada seorang pun yang bisa mengajarkannya kecuali orang
yang berada di Barkul Ghamad (yang jaraknya 5 malam perjalanan dari Mekkah),
niscaya aku akan menjumpainya”. Sa’id bin Al Musayyab juga mengatakan, “saya
terbiasa melakukan rihlah berhari-hari untuk mendapatkan satu hadits” (Al
Bidayah Wan Nihayah, Ibnu Katsir, 9/100).
Ibnul Jauzi menceritakan, “Imam
Ahmad bin Hambal sudah mengelilingi dunia sebanyak 2 kali hingga ia bisa
menulis kitab Al Musnad” (Al Jarh Wat Ta’dil, Ibnu Abi
Hatim).
Imam Baqi bin Makhlad melakukan
rihlah dua kali: dari Mesir ke Syam (sekitar Suriah) dan dari Hijaz (sekitar
Mekkah) ke Baghdad (Irak) untuk menuntut ilmu agama. Rihlah pertama selama 14
tahun dan yang kedua selama 20 tahun berturut-turut (Tadzkiratul Huffadz,
2/630).
Rela Membelanjakan
Banyak Harta Demi Ilmu
Khalaf bin Hisyam Al Asadi berkata,
“saya mendapatkan kesulitan dalam salah satu bab di kitab Nahwu. Maka saya
mengeluarkan 80.000 dirham hingga saya bisa menguasainya” (Ma’rifatul Qurra’
Al Kibar, Adz Dzahabi, 1/209)
Ayah dari Yahya bin Ma’in adalah
seorang sekretaris Abdullah bin Malik. Ketika wafat, beliau meninggalkan
100.000 dirham untuk Yahya. Namun Yahya bin Ma’in membelanjakan semuanya untuk
belajar hadits, tidak ada yang tersisa kecuali sandal yang bisa ia pakai (Tahdzibut
Tahdzib, Ibnu Hajar, 11/282)
Ali bin Ashim bercerita, “ayahku
memberiku 100.000 dirham dan berkata kepadaku: ‘pergilah (untuk belajar hadits)
dan saya tidak mau melihat wajahmu kecuali kamu pulang membawa 100.000 hadits’”
(Tadzkiratul Huffadz, Adz Dzahabi, 1/317).
Demikianlah para ulama kita. Semoga
Allah membakar semangat-semangat kita untuk mempelajari agama ini, walaupun
tidak bisa seperti semangatnya para ulama, setidaknya mendekati mereka. Allahumma
yassir wa a’in.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar